MAYAT TERHORMAT
PROLOG:
Selamat malam,…bl a,bla,bla…..(improvisasi)
Sebelum pertunjukan ini dimulai, marilah ada baiknya kita membangun kesepakatan, yaitu hendaknya pertunjukan kita malam ini tidak diganggu bunyi tu-la-lit-tu-la-lit ponsel anda atau pager. Bunyi-bunyi ilegal untuk sementara diharamkan. Maka saya memberi kesempatan kepada anda untuk mengeksplorasi naluri-naluri purba anda: segeralah anda menjadi pembunuh. Bunuhlah pager dan handphone anda ! Ini jauh lebih baik katimbang anda membunuh orang, atau membacok, hanya karena perbedaan visi atau perbedaan pendapat. Kalau nanti ternyata masih tu-la-lit-tu-la-lit, nikmatilah risikonya dipisuhi penonton lain.
Selamat malam,…bl a,bla,bla…..(improvisasi)
Sebelum pertunjukan ini dimulai, marilah ada baiknya kita membangun kesepakatan, yaitu hendaknya pertunjukan kita malam ini tidak diganggu bunyi tu-la-lit-tu-la-lit ponsel anda atau pager. Bunyi-bunyi ilegal untuk sementara diharamkan. Maka saya memberi kesempatan kepada anda untuk mengeksplorasi naluri-naluri purba anda: segeralah anda menjadi pembunuh. Bunuhlah pager dan handphone anda ! Ini jauh lebih baik katimbang anda membunuh orang, atau membacok, hanya karena perbedaan visi atau perbedaan pendapat. Kalau nanti ternyata masih tu-la-lit-tu-la-lit, nikmatilah risikonya dipisuhi penonton lain.
Baiklah saudara. Meskipun saya berdiri di sini
dengan wajah coreng moreng kayak badut, sesungguhnya saya ini bukan badut.
Karena terus terang saja, saya tidak ingin memperbanyak jumlah badut di negeri
ini yang dari hari ke hari jumlahnya terus menggelembung. Kita sudah polusi
badut, over kuota. Semua posisi sudah diisi oleh orang-orang yang lucu dan
menggemaskan, sampai-sampai tukang monolog yang sok nglucu terancam kehilangan
sandang pangannya.
Oke, sekarang saya ingin mengajak para
penonton yang terhormat untuk sekejap menengok keberadaan mayat-mayat. Tapi
saya harap anda jangan membayangkan suasana horor seperti yang sering terlihat
dalam sinetron-sinetron misteri di televisi. Kalau horor di televisi itu, tidak
menakutkan. Tapi justru malah menggelikan. Tidak membikin bulu kuduk berdiri,
tapi malah membikin satu-satunya elemen dalam tubuh saya berdiri. Yah…itulah
salah satu kelebihan bangsa kita: terlalu cerdas, sehingga apa pun yang
dilakukan seringnya meleset dari sasaran. Mau bikin horor malah menggelikan.
Mau mengusut perkara dan menuntaskan kecurangan-kecurangan, ee…hasil yang
dicapai malah penundaan-penundaan dan pengampunan.
Nah sekarang, kita mulai
saja pertunjukan ini dengan pantun pendek:
Kapal keruk talile
kenceng, nyemplung laut dihadang gelombang
Nonton monolog obat puyeng, asal rileks dan dada lapang
Nonton monolog obat puyeng, asal rileks dan dada lapang
BAGIAN PERTAMA
Sebuah sel panggung. Remang dan sayup. terdengar jeruji dipukul monoton. Lalu perlahan sepotong cahaya bagai lembing perak, menghujam tubuh SIWI yang lunglai kepayahan bersandar di jeruji sambil memukul-mukulkan piring seng. Sesekali mengerang, bahkan meraung…
SIWI terus memukul-mukul piring seng. Sampai kemudian muncul suara derap sepatu. Semula pelan, kemudian mengeras dan mengeras. SIWI tergeragap. mendadak piring seng itu berhenti bersuara. menolak dibunyikan. SIWI sekuat tenaga berusaha terus membunyikan piring itu ke jeruji sel. tetapi piring seng itu tertahan diam.
Sebuah sel panggung. Remang dan sayup. terdengar jeruji dipukul monoton. Lalu perlahan sepotong cahaya bagai lembing perak, menghujam tubuh SIWI yang lunglai kepayahan bersandar di jeruji sambil memukul-mukulkan piring seng. Sesekali mengerang, bahkan meraung…
SIWI terus memukul-mukul piring seng. Sampai kemudian muncul suara derap sepatu. Semula pelan, kemudian mengeras dan mengeras. SIWI tergeragap. mendadak piring seng itu berhenti bersuara. menolak dibunyikan. SIWI sekuat tenaga berusaha terus membunyikan piring itu ke jeruji sel. tetapi piring seng itu tertahan diam.
SIWI: (marah kepada
piring seng)
Kenapa? Takut? Kamu ini aneh lho, cuma piring seng saja kok langsung gemeter begitu mendengar derap sepatu. Ayo terus bersuara. Bernyanyilah. Karena hanya kamulah satu-satunya sahabat saya di sini. (Siwi mencoba sekuat tenaga menggerakkan piring itu, tetapi piring itu tetap tak bergerak) Dasar piring pengecut! Ingat, eksistensimu ini sudah kuangkat, sehingga kamu tidak sekadar menjadi alat makan, tapi subyek yang bersuara. Kamu punya hak bersuara. Ayo bersuara! (Kembali Siwi berusaha membunyikan piring itu, tetapi tetap tak bisa). Ayo, toh, sebagai perkakas yang nasibnya sudah saya naikkan derajatnya, mestinya kamu harus tunduk kepadaku. Ngerti! (Malah mendadak, piring itu menyerang kepala Siwi) Eit, kok malah menyerang. Oo, tahu saya, pasti kamu sudah kongkalingkong dengan para aparat itu untuk melawan saya, iya kan?! Pasti diam-diam, saat saya tertidur, kamu keluar sel ini kasak-kusuk dengan mereka, dan menyusun rencana supaya tidak loyal lagi padaku. (Piring itu menggeleng)
Kenapa? Takut? Kamu ini aneh lho, cuma piring seng saja kok langsung gemeter begitu mendengar derap sepatu. Ayo terus bersuara. Bernyanyilah. Karena hanya kamulah satu-satunya sahabat saya di sini. (Siwi mencoba sekuat tenaga menggerakkan piring itu, tetapi piring itu tetap tak bergerak) Dasar piring pengecut! Ingat, eksistensimu ini sudah kuangkat, sehingga kamu tidak sekadar menjadi alat makan, tapi subyek yang bersuara. Kamu punya hak bersuara. Ayo bersuara! (Kembali Siwi berusaha membunyikan piring itu, tetapi tetap tak bisa). Ayo, toh, sebagai perkakas yang nasibnya sudah saya naikkan derajatnya, mestinya kamu harus tunduk kepadaku. Ngerti! (Malah mendadak, piring itu menyerang kepala Siwi) Eit, kok malah menyerang. Oo, tahu saya, pasti kamu sudah kongkalingkong dengan para aparat itu untuk melawan saya, iya kan?! Pasti diam-diam, saat saya tertidur, kamu keluar sel ini kasak-kusuk dengan mereka, dan menyusun rencana supaya tidak loyal lagi padaku. (Piring itu menggeleng)
Sudah jangan mungkir. Di
sini, kamulah satu-satunya sahabatku. Saya berteman dengan
kamu, karena hanya dengan beginilah saya bisa memelihara akal saya. Menjaga
kemampuan saya untuk memelihara harapan, impian. Alangkah konyolnya jika saya
sudah tidak mempunyai harapan. Dan lebih konyol lagi, jika saya tidak punya
kemampuan untuk memelihara harapan. Jadi, tolong, janganlah sekali-kali kamu
membelot, melawanku. Terimalah ketulusan cintaku….. Atau jangan-jangan kamu
ingin agar saya “ad interim” kan? Dik Piring, kamu harus bersyukur, karena kamu
mempunyai kedudukan yang sejajar denganku. Jangan bertingkah, lu. Saya mutasi
jadi kakus, di-beol-in kamu !
Mendadak seperti
terdengar lagi langkah kaki — atau entah apa — begitu pelan, seperti bisikan,
membuat SIWI menajamkan pendengarannya, mendekatkan telinganya ke piring seng
itu. Mendadak piring seng itu meloncat melacang, seperti kaget dan ketakutan.
SIWI : (Berbicara pada
piring seng)
Hai, mau ke mana? Jangan tinggalkan aku. Cepat turun sini. Jangan ngambeg gitu….Ada apa? (Piring seng itu masih melayang-layang, bergerak-gerak seperti bicara) Kamu ngomong apa, sih? Ngomong saja terus terang? (Piring seng itu turun mendekati Siwi, nampak berbisik) Ayo toh jangan bisik-bisik begitu. Ah, yang bener! Kamu jangan sembarangan bisik-bisik lho. Atau kamu mau jadi tukang bisik? Semprul! Yang menentukan kamu mau jadi apa itu aku. Nasibmu sepenuhnya di tanganku. Aku bisa saja menjadikanmu terhormat, tapi juga bisa menjadikan kamu sekadar barang rombengan. Begitu saja kok repot. Sini, apa kamu ingin saya jadikan barang rombengan?!(Piring menggeleng).
Hai, mau ke mana? Jangan tinggalkan aku. Cepat turun sini. Jangan ngambeg gitu….Ada apa? (Piring seng itu masih melayang-layang, bergerak-gerak seperti bicara) Kamu ngomong apa, sih? Ngomong saja terus terang? (Piring seng itu turun mendekati Siwi, nampak berbisik) Ayo toh jangan bisik-bisik begitu. Ah, yang bener! Kamu jangan sembarangan bisik-bisik lho. Atau kamu mau jadi tukang bisik? Semprul! Yang menentukan kamu mau jadi apa itu aku. Nasibmu sepenuhnya di tanganku. Aku bisa saja menjadikanmu terhormat, tapi juga bisa menjadikan kamu sekadar barang rombengan. Begitu saja kok repot. Sini, apa kamu ingin saya jadikan barang rombengan?!(Piring menggeleng).
Makanya, sebagai aparat
kamu ini jangan semena-mena, apalagi dengan orang sipil macam aku. (Piring
ngambeg, lalu melayang lagi menjauhi Siwi). Lho,lho…jangan kabur….Percayalah,
meskipun aku ini sipil yang sedang berkuasa — setidak-tidaknya atas dirimu —
aku tidak akan menyakiti kamu, apalagi menculik atau melenyapkan kamu. Aku
justru ingin menjadikanmu piring yang mandiri, piring yang merdeka….
Di gertak begitu,
piring itu langsung mengkerut, takut. Lalu SIWI berusaha membunyikan piring itu
kembali, tetapi mendadak terdengar suara derap sepatu, membuat SIWI ketakutan.
SIWI: (Setelah suara sepatu itu berlalu,
ngomong kepada piring seng)
Ternyata kita ini sama-sama penakut, ya. Ternyata ada yang lebih berkuasa daripada saya yang orang sipil ini. Ternyata ada yang lebih aparat daripada aparat macam kamu. Mereka adalah aparat yang hanya bisa membentak, memerintah dan memaksa kita untuk patuh melalui teror dan ketakutan. Ternyata kita ini senasib. Ternyata kita ini sama-sama sipil! Sama-sama rombengan! (Membanting piring seng).
Ternyata kita ini sama-sama penakut, ya. Ternyata ada yang lebih berkuasa daripada saya yang orang sipil ini. Ternyata ada yang lebih aparat daripada aparat macam kamu. Mereka adalah aparat yang hanya bisa membentak, memerintah dan memaksa kita untuk patuh melalui teror dan ketakutan. Ternyata kita ini senasib. Ternyata kita ini sama-sama sipil! Sama-sama rombengan! (Membanting piring seng).
SIWI terpuruk. Musik
tipis mengalun. Sel itu kembali ditangkup kesunyian yang menekan. Siwi
menggelar tikar. Minum. Suasana kendor….Siwi mengambil kartu, lalu
membanting-banting kartu seakan-akan sedang berjudi….
SIWI: (Setengah mengeluh,
setengah meracau)
Penjara… Kuburan…. apakah yang membedakan keduanya? Barangkali tak ada. Setiap orang tak ada yang ingin memikirkan keduanya. Berusaha sedapat mungkin tak bersentuhan dengannya. Orang tak ingin berhubungan dengan kuburan, karena selalu mengingatkan pada kematian. Dan orang tak mau berurusan dengan penjara, karena juga sering kali berujung kematian…
Penjara… Kuburan…. apakah yang membedakan keduanya? Barangkali tak ada. Setiap orang tak ada yang ingin memikirkan keduanya. Berusaha sedapat mungkin tak bersentuhan dengannya. Orang tak ingin berhubungan dengan kuburan, karena selalu mengingatkan pada kematian. Dan orang tak mau berurusan dengan penjara, karena juga sering kali berujung kematian…
Dengan payah, ia berusaha bangkit, kembali
menerawang keluar jeruji, memukul-mukul piring seng, kemudian bergerak pelan ke
arah bibir panggung, dan suara musik yang sayup perlahan menghilang, bagai
angin yang bergerak menjauh…
SIWI: (Kepada penonton)
Anda pasti membayangkan, kalau saya ini tokoh besar. Tokoh oposisi yang ditangkap kemudian dipenjarakan. Ya, setidaknya seorang demonstran militan. Wouw…betapa gagah dan mulianya prasangkaan saudara itu. Semestinya, saya ini harus merawat kesalahpahaman itu sebaik mungkin, agar saya bisa sedikit terhibur. Sehingga diam-diam saya ini bisa merasa bahwa diri saya ini memang orang penting, orang besar yang selalu ditakuti penguasa.
Tapi, sebentar….(Mencermati sosoknya sendiri) Saya kok ya curiga, jangan-jangan saya ini memang orang besar,…. Setidak-tidaknya ada yang besar di dalam diri saya…. Iya lho, jangan-jangan saya ini benar-benar pemberani, militan dan cerdas. (Siwi meminta konfirmasi pada pring yang tergolek di lantai, lalu mematut diri seperti orang bercermin) Iya kan ? Coba lihat, setidaknya saya ini punya potongan sebagai pembangkang.. (Bertanya kepada piring) Pantas kan saya jadi pembangkang ? Soalnya, jadi pembangkang itu ternyata ada enaknya: kalau nasib baik, bisa terpelanting naik jadi penguasa atau setidak-tidaknya jadi petinggi negara. Perkara sesudah jadi penguasa lalu lupa berjuang, itu bukan soal pengkhianatan. Bukan. Itu justru menunjukkan sikap Konsisten untuk selalu tidak konsisten….(Pause)
Anda pasti membayangkan, kalau saya ini tokoh besar. Tokoh oposisi yang ditangkap kemudian dipenjarakan. Ya, setidaknya seorang demonstran militan. Wouw…betapa gagah dan mulianya prasangkaan saudara itu. Semestinya, saya ini harus merawat kesalahpahaman itu sebaik mungkin, agar saya bisa sedikit terhibur. Sehingga diam-diam saya ini bisa merasa bahwa diri saya ini memang orang penting, orang besar yang selalu ditakuti penguasa.
Tapi, sebentar….(Mencermati sosoknya sendiri) Saya kok ya curiga, jangan-jangan saya ini memang orang besar,…. Setidak-tidaknya ada yang besar di dalam diri saya…. Iya lho, jangan-jangan saya ini benar-benar pemberani, militan dan cerdas. (Siwi meminta konfirmasi pada pring yang tergolek di lantai, lalu mematut diri seperti orang bercermin) Iya kan ? Coba lihat, setidaknya saya ini punya potongan sebagai pembangkang.. (Bertanya kepada piring) Pantas kan saya jadi pembangkang ? Soalnya, jadi pembangkang itu ternyata ada enaknya: kalau nasib baik, bisa terpelanting naik jadi penguasa atau setidak-tidaknya jadi petinggi negara. Perkara sesudah jadi penguasa lalu lupa berjuang, itu bukan soal pengkhianatan. Bukan. Itu justru menunjukkan sikap Konsisten untuk selalu tidak konsisten….(Pause)
Tapi celakanya, saya ini cuma seorang juru
kunci. Kekuasaan saya cuma sebatas kuburan dan tulang-tulang berserakan. Itupun
cuma juru kunci kuburan umum. Tentu, nasib saya akan jauh lebih baik, misalnya,
kalau saya ini juru kunci Taman Makam Pahlawan. Sebab, menjadi juru kunci Taman
Makam Pahlawan tentu lebih prestisius dan memiliki banyak privilige. Lha ya
jelas, lha wong yang diurusi itu jazad para pahlawan.Ingat…p a h a l a w a n
(sambil menggelembungkan mulut). Meskipun yang disebut pahlawan itu lebih pada
orang-orang yang memegang senapan. Istilah yang digunakan saja beda. Kalau orang
bersenapan yang mati maka ia disebut gugur dalam tugas: Gugur satu tum uh
seribu, tunai sudah janji bhakti…. Lho mati saja ada lagunya. Coba kalau orang
biasa yang mati, paling banter disebut meninggal. Apalagi kalau hanya kere yang
mati, maka dengan semena-mena ia disebut tewas atau koit atau bahkan modar. Kok
nggak ada ya kere mati disebut gugur dalam tugas. Padahal seorang kere pun pada
galibnya juga punya tugas mulia…, karena kemuliaan itu ada ukurannya
sendiri-sendiri, tergantung bagaimana kita memaknai kemuliaan itu,…..meskipun
ya kebangetan jika tiba-tiba ada kere yang merasa benar-benar mulia. Gila masyarakat kita ini, ternyata masyarakat mayat pun disekat-sekat oleh
kelas, tergantung dari status sosialnya. Dan sejarah yang ditulis para
pendekar, cenderung menganggap senapan sebagai ukuran kepahlawanan. Bukan pada
kecemerlangan otak, ketulusan pengabdian, dan ketegaran integritas dirinya.
Tapi, saya tidak ambil
peduli. Meskipun mayat-mayat yang saya urusi tidak dikategorikan sebagai
pahlawan, saya toh bangga. Bangga sekaligus terharu, karena mayat-mayat yang
saya urus tak pernah mengeluh, meskipun tempat persemayamannya…panas, gerah,
sumuk,….Mereka tidak minta AC untuk ruang kuburnya. Sangat berbeda dengan
mayat-mayat di kuburan Senayan, baru sekali saja jadi mayat, sudah macem-macem
menuntut ini-itu, minta kenaikan gaji…
Akhirnya saya paham. Kalau toh mereka itu tak
banyak menuntut ini-itu, barangkali mayat-mayat itu memang sudah lama terdidik
dan terbiasa hidup menderita ketika hidup di dunia. Sehingga wajar, misalnya,
jika mereka lebih merasa nyaman di kuburan. Karena
di dalam kubur mereka tidak pernah mengalami tekanan-tekanan dalam bentuk apa
pun. Mayat-mayat yang urus itu begitu santun. Mereka adalah klien-klien saya
yang terhormat, meskipun bisa jadi mereka mati tidak dengan cara terhormat.
Mungkin saja ada yang terpaksa diseyogyakan untuk mati karena diberi bonus
peluru, atau mendapatkan kehormatan dengan dijerat lehernya, atau dipaku
kepalanya, diperam dalam kulkas…Dan ada satu mayat perempuan yang membisiki,
bahwa ia mati disebabkan kemaluannya dimasuki benda bulat , panjang dan tumpul:
selonjor besi. Ya….selonjor besi yang bulat, panjang dan tumpul itu dimasukkan
pelan-pelan, kemudian ditekan sekuat tenaga. Sehingga rahimnya hancur, kemudian
ia dibuang di sebuah hutan. Saya benar-benar terkesima dengan nasib mayat
sahabat saya itu. Mbak, mbak, mbak…wahai mayat yang selalu hadir dalam mimpi
burukku, di manakah kamu ? Ceritakan
padaku tentang dirimu…
- Apa sih status Anda waktu hidup di dunia?
+ Saya hanyalah seorang buruh…
- Lalu kenapa Anda sampai meninggal?
+ Saya dituduh memimpin demonstrasi kenaikan gaji.
- Bukankah Anda yang bernama….
+ Jangan sebut nama saya. Nama saya telah menjadi hantu yang menakutkan bagi orang-orang yang dengan bangganya menghabisi saya demi perut mereka.
- Tapi nama Anda sudah sangat terkenal. Bahkan menjadi legenda yang cukup menggoncang dunia peradilan…
+ Dunia peradilan hanya terguncang. Namun tak mampu berbuat apa-apa. Nama saya hanya berhenti sebagai fakta, sebagai data yang disimpan dalam berkas-berkas mereka.
- Apakah Anda bisa menyebut nama orang-orang yang melenyapkan Anda?
+ Tidak. Kalau saya sebutkan, mereka pasti akan membunuh saya lagi. Saya takut untuk mati yang kedua kali.
+ Saya hanyalah seorang buruh…
- Lalu kenapa Anda sampai meninggal?
+ Saya dituduh memimpin demonstrasi kenaikan gaji.
- Bukankah Anda yang bernama….
+ Jangan sebut nama saya. Nama saya telah menjadi hantu yang menakutkan bagi orang-orang yang dengan bangganya menghabisi saya demi perut mereka.
- Tapi nama Anda sudah sangat terkenal. Bahkan menjadi legenda yang cukup menggoncang dunia peradilan…
+ Dunia peradilan hanya terguncang. Namun tak mampu berbuat apa-apa. Nama saya hanya berhenti sebagai fakta, sebagai data yang disimpan dalam berkas-berkas mereka.
- Apakah Anda bisa menyebut nama orang-orang yang melenyapkan Anda?
+ Tidak. Kalau saya sebutkan, mereka pasti akan membunuh saya lagi. Saya takut untuk mati yang kedua kali.
SIWI tersadarkan. Lalu berkata:
Kenapa aku justru dleweran ngurusi persoalan besar yang masih gelap ? Bukankah persoalanku sendiri masih gelap ? Aku sendiri tak pernah tahu, bahwa diriku memiliki kelayakan untuk dikurung seperti ini. Tapi soalnya barangkali bukan layak atau tidak layak untuk dipenjara. Yang jelas, kasus ini butuh korban. Butuh tumbal. Dan aku menolak untuk ditumbalkan !
Besok, kepada interogrator akan saya katakan persoalan yang sesungguhnya. Biar semuanya jelas. (SIWI MENGANTUK) Oalllah…..interograsi, interograsi….Lagi-lagi interograsi…..
Kenapa aku justru dleweran ngurusi persoalan besar yang masih gelap ? Bukankah persoalanku sendiri masih gelap ? Aku sendiri tak pernah tahu, bahwa diriku memiliki kelayakan untuk dikurung seperti ini. Tapi soalnya barangkali bukan layak atau tidak layak untuk dipenjara. Yang jelas, kasus ini butuh korban. Butuh tumbal. Dan aku menolak untuk ditumbalkan !
Besok, kepada interogrator akan saya katakan persoalan yang sesungguhnya. Biar semuanya jelas. (SIWI MENGANTUK) Oalllah…..interograsi, interograsi….Lagi-lagi interograsi…..
Mendadak terdengar derap
suara sepatu. SIWI ketakutan. Ia segera bersembunyi dan tidur meringkuk di
salah satu ruangan sel.
Musik keras menyapu.
Musik keras menyapu.
BAGIAN DUA
Ketika SIWI tertidur, setting jeruji penjara
berubah menjadi gerbang kuburan yang mendadak terbuka. Terdengar suara deru
truk, mengeram dalam kelam. lalu mengendap derap kaki, memasuki kuburan,
teriakan-teriakan yang seakan menyembunyikan rahasia, tetapi diucapkan dengan
tergesa. Semua menggambarkan suasana pemakaman ratusan mayat, yang
serba darurat: cepat dan gawat. SIWI, perlahan-lahan bangun dari tidurnya,
tergeragap menyaksikan semua itu. Lalu ia pelan-pelan mengendap dalam gelap.
Sampai kemudian suara truk menderu, menjauh.
SIWI: (Mengamati timbunan
tanah, sesekali mengoreknya dengan tangannya, gugup….)
Satu.., tiga… sepuluh… Empat ratus….seribu lima ratus….lima ribu…. (Terus menghitung).
Dari malam ke malam semakin banyak saja mayat yang mereka lemparkan ke kuburan terpencil ini. Ini sudah malam yang ke sepuluh atau entah ke berapa. Otak saya jadi malas mengingat, karena begitu seringnya hal ini terjadi. Aneh. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Sepanjang saya jadi penjaga makam, baru kali ini saya mengalami kejadian seaneh ini. Saya memang mendengar kalau saat ini sering terjadi pembunuhan. Jangan-jangan ini bukan sekadar pembunuhan, tapi pembantaian… (Siwi terus bergerak ke sekeliling panggung, mengamati “mayat-mayat” yang terkubur bergelimpangan tak sempurna. Ia terkepung oleh hamparan mayat yang begitu mengenaskan. Berulangkali ia memungut sesuatu dan mengamati “benda” yang ada di tangannya, dan ia selalu kaget terbelalak). Kepala…biji mata….tangan….kaki… Gila…tubuh manusia dicerai berai seenak wudelnya sendiri. Rupanya iblis sudah menjelma pada diri manusia. Perilaku mereka jauh lebih iblistik daripada iblis itu sendiri. (Siwi terus bergerak mengamati “mayat-mayat” yang bergelimpangan. Musik. Siwi menguburkan mayat-mayat dalam suasana yang karikatural, sampai akhirnya terhenti ketika menjumpai mayat perempuan berkuning langsat)
Satu.., tiga… sepuluh… Empat ratus….seribu lima ratus….lima ribu…. (Terus menghitung).
Dari malam ke malam semakin banyak saja mayat yang mereka lemparkan ke kuburan terpencil ini. Ini sudah malam yang ke sepuluh atau entah ke berapa. Otak saya jadi malas mengingat, karena begitu seringnya hal ini terjadi. Aneh. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Sepanjang saya jadi penjaga makam, baru kali ini saya mengalami kejadian seaneh ini. Saya memang mendengar kalau saat ini sering terjadi pembunuhan. Jangan-jangan ini bukan sekadar pembunuhan, tapi pembantaian… (Siwi terus bergerak ke sekeliling panggung, mengamati “mayat-mayat” yang terkubur bergelimpangan tak sempurna. Ia terkepung oleh hamparan mayat yang begitu mengenaskan. Berulangkali ia memungut sesuatu dan mengamati “benda” yang ada di tangannya, dan ia selalu kaget terbelalak). Kepala…biji mata….tangan….kaki… Gila…tubuh manusia dicerai berai seenak wudelnya sendiri. Rupanya iblis sudah menjelma pada diri manusia. Perilaku mereka jauh lebih iblistik daripada iblis itu sendiri. (Siwi terus bergerak mengamati “mayat-mayat” yang bergelimpangan. Musik. Siwi menguburkan mayat-mayat dalam suasana yang karikatural, sampai akhirnya terhenti ketika menjumpai mayat perempuan berkuning langsat)
Astaga…saya kenal
perempuan ini. Kenapa ia harus mati. Gila…aroma kematiannya masih terasa
menyengat, dan dari selangkangnya masih mengalir darah. Sempat-sempatnya
pembunuh itu menyempurnakan keiblisannya sehingga hancurlah kehormatan
perempuan ini…(Mayat perempuan itu merintih)
“Saya tidak tahu apa
kesalahan kami. Tiba-tiba saya lihat puluhan orang datang menyerbu toko kami.
Harta benda kami dijarah. Mereka seperti menumpahkan kebencian kepada kami.
Papah dan mamah saya disiksa, sementara saya dan cacik saya dijadikan pesta.
Keluarga kami dibantai. Toko kami dibakar lalu papah saya dilempar ke dalam
lautan api. Juga
mamah saya, cacik saya, engkoh saya, dan saya…”
Gila ! Peradaban apa ini ? Bagaimana mungkin
nafsu dan kekejaman bisa bekerja sama secara kompak begini? Manajemen kekejaman
macam apa yang mereka gunakan? Apakah ini yang disebut kekejaman dengan
paradigma baru? (Pause) Paradigma-paradigma ndasmu!
Siwi mengangkat satu
persatu mayat itu, dengan perasaan tertahan. Ia berulangkali mau muntah mencium
anyir darah. Ia mematung di antara “mayat-mayat”. Cemas.
SIWI : Barangkali kuburan
ini tak cukup menampung mayat-mayat tak bernama itu. Ribuan orang mati, serapuh
daun rontok ditiup angin. (Pause) Kenapa begitu gampang orang mati? Kenapa
begitu ringan orang membunuh, seringan orang mencabuti bulu ketiak?. Mereka tak
lagi butuh alasan untuk membunuh. Dan para korban pun dipaksa tak boleh tahu
kenapa harus mati. Apakah mereka harus mati hanya karena berbeda warna
kulitnya, beda bentuk matanya, berlainan cara bicara dan bahasanya, atau hanya
karena tidak sama ketika menyembah Tuhannya. Kenapa untuk semua perbedaan itu,
sekarang ini orang harus mati ?
Aneh, begitu banyak orang
tak berdosa mati. Sementara orang yang dosanya luar biasa banyaknya malah tidak
mati-mati. Ini sangat-sangat tidak fair. Ini sudah kebangeten. (Pause) Saya
jadi percaya, maut ternyata tidak bisa bekerja sendirian. Sebab, maut bisa
diciptakan. Maut bisa diselenggarakan oleh siapa pun yang berkuasa. Mereka bisa
menaburkan maut kapan saja, sehingga udara yang terhisap selalu berbau
kematian. Ya…kematian yang bisa di order kapan saja…. (Siwi menyulut rokoknya.
Menghembuskan asap kuat-kuat)
(Siwi tiba-tiba tersadar
jika dirinya telah ngelantur) Lho, lho….saya ini kan cuma penjaga makam, juru
kunci kuburan, kok heroik banget ta ? Seharusnya, saya tak perlu repot-repot
memikirkan soal ini. Biarin aja, gitu aja kok repot. Bukankah bagi saya
kematian itu sudah menjadi hal biasa. Malah, kalau sehari tak ada orang mati,
bagi saya justru aneh. Saya jadi kehilangan peluang. Penghasilan pun berkurang.
Jadi mestinya kalau ada orang mati, diam-diam saya bersyukur. Itulah sebabnya,
— jangan bilang-bilang ya — setiap hari saya sering berdoa agar Tuhan
memperbanyak jumlah angka kematian: Tuhan kirimkan kematian ke kuburan kami,
Gusti Allah paringana sripah…
Tapi tentu saja, saya cuma berharap pada
kematian yang wajar. Yaitu, orang yang benar-benar mati karena dipanggil
Tuhan, bukan karena dimatikan. Lho…jelek-jelek, saya ini penjaga makam yang
sedikit tahu etika, tahu fair play, win and win solution, cingcay…. Karena itu
pula, di kuburan sini saya tak pernah main kadal-kadalan. Saya ogah melakukan
korupsi, habis memang tidak ada yang layak dikorupsi di sini. Apa, bunga? Masih
lumayan kalau bunga bank! Apa, kemenyan? Lumayan juga, bisa untuk mut-mutan.
Mosok, saya harus rebutan dengan dhemit?
Kalau toh saya harus
melakukan tindakan ilegal, paling banter saya cuma menyewakan tempat bagi
pasangan yang nggak kuat sewa hotel. Short-time di sini lebih murah..
Nah, lihat, di pojok yang
gelap sebelah sana biasanya mereka main. Cukup menggelar koran. Heran saya, apa
ya mereka nggak takut ganthet! Tapi ini juga keuntungan sampingan yang cukup
lumayan. Di samping dapat uang sewa tempat, sekali-kali saya juga bisa….
mengintip mereka….Jadi setiap malam saya bisa lihat siaran langsung”BF”. Pada
awalnya memang seru dan syur. Tapi lama-lama bosen juga. Habis gayanya monoton
sih…Mereka kurang berani melakukan terobosan kreatif dan penjelajahan estetik.
Terlalu kuno dan konvensional!
Ya, begitulah, saudara-saudara. Ternyata saya
tak cuma berurusan dengan mayat, tapi juga dengan bermacam orang dengan beragam
watak. Ada yang memang datang untuk ziarah kubur. Tapi ada juga yang datang
untuk minta berkah. Itu lho, di tengah-tengah itu, biasanya puluhan orang
bertirakat di bawah pohon beringin besar itu. Katanya sih ada yang menunggu
pohon beringin itu. Kata orang-orang itu juga, di bawah pohon beringin itu
tersimpan harta karun yang luar biasa banyaknya. Pikiran gendheng macam apa
ini. Apa ya memang dulu ada raja yang menguras duit negara lalu menyimpannya di
bawah akar-akar beringin itu, sehingga harta korupsinya tak terlacak?! Tidak
faham saya. Lho percaya kok sama beringin…
BREAK. ISTIRAHAT.
SIWI tersentak. Ia mendengar suara mengerang.
Suara itu sesungguhnya sudah mulai terdengar sayup saat siwi masih asyik
bicara. Sampai kemudian erangan itu menyadarkan SIWI dan membuatnya segera
mencari asal suara. Lalu ia mendapati satu tubuh yang tergolek, kotor dan
payah, setengah hidup-setengah mati, tangannya menggapai-gapai minta tolong.
segera SIWI membopong tubuh itu, kepayahan menyeretnya ke tempat yang lebih
terang. Dengan satu gerakan, SIWI berubah posisi: menggeletak payah dengan
tangan menggapai-gapai. siwi berubah peran jadi mayat (seorang mahasiswa)
MAHASISWA: (Mengerang kepayahan)
Tollooonggg….. aduhhhh…aduhhhh…panas….panas…panas (Terus mengerjat-ngerjat)….Tolong….air….air…..kalau ada teh panas juga boleh…..
Tollooonggg….. aduhhhh…aduhhhh…panas….panas…panas (Terus mengerjat-ngerjat)….Tolong….air….air…..kalau ada teh panas juga boleh…..
Dengan satu gerakan mayat itu kembali berubah
jadi SIWI: Mencoba menolong dan menenangkan
SIWI: Tenang, Mas…
Tenang… Saya Siwi. Ya…
S..i..w..i..(Es -ai - double you- ai)! Penjaga makam di sini. Nggak usah takut.
Ayo, duduklah. Mau minum lagi? (Siwi bergerak mengambil air minum, kembali, dan
meminumkannya pada mahasiswa itu, imajiner) Nah, begitu kan enak. Mas aman di
sini.
SIWI berubah jadi mahasiswa
MAHASISWA:
Apakah saya ada di neraka ? Kok panasnya bukan main….Aduhhhh jangan masukkan saya ke neraka…..Jangan….Jangan siksa saya….Jangan potong kemaluan saya. Percayalah….selama hidup jadi mahasiswa, saya selalu menggunakan kemaluan saya untuk hal-hal yang tidak memalukan. Tapi….. kalau toh cuma sesekali….pernah juga….Tapi,…tapi… itu saya lakukan dengan amat sangat terpaksa, karena nggak kuat nagmept. Tapi itu cuma sekali,….she, dua kali….Pertama dengan pacar saya….Kedua, dengan ibu kost saya….Tapi percayalah, dialah yang memaksa saya, sehingga saya pun terpaksa dengan penuh suka rela, memenuhi permintaannya yang penuh paksaan itu….Itupun terpaksa saya lakukan, karena saya mencoba menghargai paksaannya yang memang saya harapkan
Apakah saya ada di neraka ? Kok panasnya bukan main….Aduhhhh jangan masukkan saya ke neraka…..Jangan….Jangan siksa saya….Jangan potong kemaluan saya. Percayalah….selama hidup jadi mahasiswa, saya selalu menggunakan kemaluan saya untuk hal-hal yang tidak memalukan. Tapi….. kalau toh cuma sesekali….pernah juga….Tapi,…tapi… itu saya lakukan dengan amat sangat terpaksa, karena nggak kuat nagmept. Tapi itu cuma sekali,….she, dua kali….Pertama dengan pacar saya….Kedua, dengan ibu kost saya….Tapi percayalah, dialah yang memaksa saya, sehingga saya pun terpaksa dengan penuh suka rela, memenuhi permintaannya yang penuh paksaan itu….Itupun terpaksa saya lakukan, karena saya mencoba menghargai paksaannya yang memang saya harapkan
SIWI: Anda ini kok malah bikin pengakuan
segala…Ehhh Mas…berdosa ya berdosa, tapi jangan jujur-jujur amat. Mestinya Anda
ini justru harus berbelit-belit, bahkan kalau perlu bikin segala macam trik,
biar pemeriksaannya bisa lebih dramatik. Pakai pura-pura sakit,
siapa tahu nanti dikasihani, terus diampuni. Tapi ngapai pakai ngaku-ngaku
segala, lha wong situ masih di alam kubur. Belum di alam sono….
MAHASISWA:
Lho,….saya masih di alam kubur ? Pantesan…kok gelap. Trus, anda ini siapa ? Interogrator alam kubur ya ? Aduhhhhhh….jangan periksa saya. Jangan. Saya tidak siap diperiksa. Jangan….jangan ! Jangan cecar saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Jangan….Selama hidup jadi mahasiswa, saya sudah terlalu capek menjawab pertanyaan yang sulit-sulit dari dosen saya, apalagi untuk pertanyaan bersifat esai,….saya malah sering bingung. Kalau you mau bertanya kepada saya, yang gampang-gampang saja ya….chek point saja. Jadi saya tinggal melingkari saja….
Lho,….saya masih di alam kubur ? Pantesan…kok gelap. Trus, anda ini siapa ? Interogrator alam kubur ya ? Aduhhhhhh….jangan periksa saya. Jangan. Saya tidak siap diperiksa. Jangan….jangan ! Jangan cecar saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Jangan….Selama hidup jadi mahasiswa, saya sudah terlalu capek menjawab pertanyaan yang sulit-sulit dari dosen saya, apalagi untuk pertanyaan bersifat esai,….saya malah sering bingung. Kalau you mau bertanya kepada saya, yang gampang-gampang saja ya….chek point saja. Jadi saya tinggal melingkari saja….
SIWI: Saya ini Siwi…..Penjaga kuburan ini.
Tenanglah,…anda nggak usah panik. Anda ini belum mati. Ayo diminum lagi….Nah,
segar kan ? Nah, duduklah dengan tenang. Ambil nafas dalam-dalam lalu hembuskan
pelan-pelan. Tak perlu khawatir,…di sini anda aman.
MAHASISWA: (kembali panik)
Tapi orang-orang bertopeng itu ? Jumlah mereka banyak. Sangat banyak. Lihat ! Lihat ! Mereka berderap-derap kemari. Jangan….jangan siksa saya ! jangan bunuh saya ! Bukan saya penggeraknya. Bukan. Jangan….jangan copot jantung saya….
Tapi orang-orang bertopeng itu ? Jumlah mereka banyak. Sangat banyak. Lihat ! Lihat ! Mereka berderap-derap kemari. Jangan….jangan siksa saya ! jangan bunuh saya ! Bukan saya penggeraknya. Bukan. Jangan….jangan copot jantung saya….
SIWI:
Jantung ? Bukankah jantung anda masih ada ? Coba….raba dada anda…Nah masih berdenyut kan ? Anda masih hidup
Jantung ? Bukankah jantung anda masih ada ? Coba….raba dada anda…Nah masih berdenyut kan ? Anda masih hidup
MAHASISWA:
Benarkah saya masih hidup. Kemarin saya merasa sudah mati. Dada saya terasa pecah. Entah oleh apa. Entah oleh siapa. Tapi saya melihat kelebat orang-orang bertopeng itu meringkus saya, membekap saya, mencekik saya…. Tubuh saya berulangkali dibanting, diinjak, diludahi. Dan mendadak ada tangan-tangan berkelebat menghunjamkan belati di dada saya. Ya….. darah segar muncrat. Terus mengalir. Deras. Amat deras. Sampai berliter-liter. Pandangan saya berkunang-kunang. Saya jatuh…terkapar…tak berdaya…. Di dalam kesadaran saya yang timbul tenggelam, saya rasakan mereka menyeret tubuh saya. Terus menyeret sampai jauh. Sampai saya sadar….sampai akhirnya anda menemukan saya di sini…di kuburan sunyi ini…(Pause).
Mas Siwi,…saya berterimakasih karena anda telah menyelamatkan saya. Tapi meski nasibnya cukup beruntung, saya toh tetap sedih. Puluhan, bahkan ratusan teman saya mati mengenaskan di jalan-jalan, di selokan-selokan. Mereka beramai-ramai dibantai, justru ketika mencoba menghentikan pembantaian gila ini. Kami memperjuangkan pikiran waras, tapi orang-orang bertopeng itu menjawabnya dengan nyalak senapan dan gebukan pentungan. Mas Siwi, kita harus menghentikan proyek gila ini !
Benarkah saya masih hidup. Kemarin saya merasa sudah mati. Dada saya terasa pecah. Entah oleh apa. Entah oleh siapa. Tapi saya melihat kelebat orang-orang bertopeng itu meringkus saya, membekap saya, mencekik saya…. Tubuh saya berulangkali dibanting, diinjak, diludahi. Dan mendadak ada tangan-tangan berkelebat menghunjamkan belati di dada saya. Ya….. darah segar muncrat. Terus mengalir. Deras. Amat deras. Sampai berliter-liter. Pandangan saya berkunang-kunang. Saya jatuh…terkapar…tak berdaya…. Di dalam kesadaran saya yang timbul tenggelam, saya rasakan mereka menyeret tubuh saya. Terus menyeret sampai jauh. Sampai saya sadar….sampai akhirnya anda menemukan saya di sini…di kuburan sunyi ini…(Pause).
Mas Siwi,…saya berterimakasih karena anda telah menyelamatkan saya. Tapi meski nasibnya cukup beruntung, saya toh tetap sedih. Puluhan, bahkan ratusan teman saya mati mengenaskan di jalan-jalan, di selokan-selokan. Mereka beramai-ramai dibantai, justru ketika mencoba menghentikan pembantaian gila ini. Kami memperjuangkan pikiran waras, tapi orang-orang bertopeng itu menjawabnya dengan nyalak senapan dan gebukan pentungan. Mas Siwi, kita harus menghentikan proyek gila ini !
SIWI:
Kita ? Kita siapa ? bagaimana pun kita ini beda. Anda mahasiswa. Saya cuma juru kunci. Mahasiswa itu masa depannya jelas, bisa lulus sarjana, jadi birokrat, jadi politikus, jadi pengusaha….Sedang juru kunci ? Mau jadi apa ? Juru kunci itu jabatan paripurna. Pol. Mosok, ada juru kunci terpeleset jadi Dirjen Pemakaman…..
Kita ? Kita siapa ? bagaimana pun kita ini beda. Anda mahasiswa. Saya cuma juru kunci. Mahasiswa itu masa depannya jelas, bisa lulus sarjana, jadi birokrat, jadi politikus, jadi pengusaha….Sedang juru kunci ? Mau jadi apa ? Juru kunci itu jabatan paripurna. Pol. Mosok, ada juru kunci terpeleset jadi Dirjen Pemakaman…..
MAHASISWA:
Meskipun mas Siwi ini cuma juru kunci, tapi Mas Siwi tahu banyak soal pembantai ini. Mas Siwi mesti berani jadi saksi kunci untuk membongkar kasus ini…
Meskipun mas Siwi ini cuma juru kunci, tapi Mas Siwi tahu banyak soal pembantai ini. Mas Siwi mesti berani jadi saksi kunci untuk membongkar kasus ini…
SIWI: (kaget, bahkan
setengah takut)
Saksi kunci ? Aduhhhhh…jangan Mas…apalah saya ini. Saya ini cuma teri yang gampang diuntal oleh ikan-ikan kakap
Saksi kunci ? Aduhhhhh…jangan Mas…apalah saya ini. Saya ini cuma teri yang gampang diuntal oleh ikan-ikan kakap
MAHASISWA:
Justru karena kita teri, maka kita harus berani bersaksi, agar ikan-ikan besar itu tidak sewenang-wenang melalap jutaan teri yang lain. Tapi semuanya terserah mas Siwi. Saya cuma menganjurkan….
Justru karena kita teri, maka kita harus berani bersaksi, agar ikan-ikan besar itu tidak sewenang-wenang melalap jutaan teri yang lain. Tapi semuanya terserah mas Siwi. Saya cuma menganjurkan….
Dan kelebat bayangan orang-orang bertopeng itu
bagai bermunculan dari rimbun kelam. SIWI ketakutan, mencoba sembunyi.
Sementara SIWI sendiri langsung pontang-panting menyelamatkan diri. Beberapa
saat kemudian, kelebat bayangan “orang-orang bertopeng” itu menghilang. SIWI
merasa selamat dari ancaman, meski ia masih juga cemas dan ngos-ngosan.
SIWI: Orang-orang
bertopeng itu lagi. Siapakah sebenarnya mereka? Apa hubungan orang-orang
bertopeng itu dengan pembantaian demi pembantaian yang kini berkecamuk di
mana-mana?! Apakah orang-orang bertopeng itu yang mengirim mayat-mayat ke sini?
(SIWI mengamati sekeliling, melangkah hati-hati, takut menginjak mayat-mayat
yang bergelimpangan memenuhi kuburan) Bau kematian yang berpusaran memenuhi
udara. Apakah mereka tak bisa lebih beradab sedikit dengan memberi penghormatan
yang layak bagi mayat-mayat ini? Boleh jadi ketika hidup, mayat-mayat ini
memang pencoleng, perusuh, pemberontak — atau apa saja. Tetapi bukan berarti
mayat-mayat ini boleh dilempar begitu saja ke kuburan, tanpa penghormatan.
Lalu SIWI bergerak ke
satu sudut, mengambil bendera-bendera putih mungil yang terikat pada
batang-batang bambu kecil. kemudian mencapkan bendera-bedera putih itu ke
tanah, seperti tengah menanam nisan, sambil terus bicara….
SIWI: Aku tak kenal
kalian, tapi aku tak bisa membiarkan kalian terkubur tanpa penghormatan.
(Menancapkan bendera-bendera putih itu) Anggap saja ini upacara kecil bagi
kematian kalian. Semoga saja bisa membuat kalian sedikit terhibur. Aku tak
punya banyak dana untuk membiayai upacaya besar bagi penguburan kalian. Aku
cuma penjaga kuburan. Maafkan, kalau upacara ini kurang sempurna. Tak ada
terompet yang mengringi pemakaman kalian, tak ada tembakan salvo, tak ada
liputan televisi, tak ada bunga, tak ada kembang api…. (Terus menanami
bendera-bendera putih itu, sampai hampir memenuhi semua sudut kuburan.
Sementara itu bagai doa yang mengiringi upacara kecil SIWI, terdengar suara
gemeremang, seperti suara-suara orang bertahil. Seperti suara-suara orang
berdoa yang menggigil. Begitu gaib. Suara itu menjadi bagian dari upacara
penguburan yang tengah dilakukan SIWI). Istirahatlah dengan damai. Tak usah
kalian mengutuk mereka yang membantai kalian. Aku tahu, kalian marah dan
menyimpan dendam karena kematian kalian yang terasa begini hina. bagikupara
pembantai kalianlah yang jauh lebih hina. Siapa pun yang membantai kalian,
sungguh luar biasa menjijikkan. Memuakkan! Kukira hanya setan — setidaknya
mereka yang bersekutu dengan kekuasaan setan — yang bisa melakkan pembantaian
macam ini.. Celakanya, kita tak pernah tahu siapa mereka itu. Ya…bagi
mereka…orang-orang macam kalian lain tak lebih dari seekor hama yang selalu
dianggap mengancam hasil panen kekuasaan mereka. Padahal mereka tidak pernah
menanam. Tidak pernah, kecuali memaksa memeras keringat orang lain untuk
bercocok tanam. Mereka tak lebih dari mandor-mandor yang menganggap kekerasan
sebagai kebenaran.
Sambil terus menanam
bendera-bendera putih kecil itu, dalam benak SIWI berkecamuk kegelisahan
bercampur kecemasan. Sampai kemudian terdengar suara tangis bayi yang
menyayat-nyayat. Tangi itu mula-mula terdengar sesekali, membuat SIWI
menajamkan pendengarannya. Lalu tangin itu menghilang. Siwi kembali menanam
bendera-bendera putih itu denga khusyuk. lalu kembali terdengar suara bayi
melengking, SIWI mencari sumber suara. Tapi sia-sia. Suara bayi itu selalu
mendadak lenyap ketika SIWI mendekat.
SIWI:
Aneh… Jangan-jangan bayi itu anak jin yang dibuang ke kuburan ini. Tapi untuk apa jin itu membuang anaknya sendiri? Dia bukan termasuk mahluk yang tidak bertanggungjawab seperti manusia yang gemar membuang bayi dari hasil hubungan yang tak resmi.
Aneh… Jangan-jangan bayi itu anak jin yang dibuang ke kuburan ini. Tapi untuk apa jin itu membuang anaknya sendiri? Dia bukan termasuk mahluk yang tidak bertanggungjawab seperti manusia yang gemar membuang bayi dari hasil hubungan yang tak resmi.
Kembali terdengar suara
tangis bayi. Kali ini segera di susul tangis bayi-bayi yang lain.Tangis bayi
itu bagai bermunculan dari segala penjuru, menjadi nyanyi keperihan yang
berkumandang memenuhi malam. SIWI
benar-benar dikepung suara bayi….
SIWI : Saya curiga, suara-suara itu adalah
tangis arwah bayi. Saya curiga…… ada begitu banyak bayi dibunuh.
Jangan-jangan…..pembantaian tidak hanya menelan korban orang-orang tua…tapi
juga bayi-bayi….
SIWI bergerak ke sekeliling panggung. Ia
berjalan di antara hamparan mayat-mayat…. sampai kemudian ia terpekik kaget
ketika di antara timbunan mayat, ia menemukan puluhan mayat bayi.
SIWI:
Edan!!! Ternyata dugaan saya tidak meleset. Mereka juga membantai bayi-bayi…. Bayi-bayi pun dibunuh tanpa ampun. Bayi-bayi pun dibantai secara beruntun. Rupanya mereka tak ubahnya raksasa yang meramu nyawa bayi menjadi jamu, yang direguk supaya bisa hidup abadi. Gila. Langkah generasi sedang dimatikan. Generasi demi generasi dilenyapkan dari rahim zaman, untuk diganti mesin-mesin yang hanya bisa patuh….
Edan!!! Ternyata dugaan saya tidak meleset. Mereka juga membantai bayi-bayi…. Bayi-bayi pun dibunuh tanpa ampun. Bayi-bayi pun dibantai secara beruntun. Rupanya mereka tak ubahnya raksasa yang meramu nyawa bayi menjadi jamu, yang direguk supaya bisa hidup abadi. Gila. Langkah generasi sedang dimatikan. Generasi demi generasi dilenyapkan dari rahim zaman, untuk diganti mesin-mesin yang hanya bisa patuh….
SIWI mencoba mengubur puluhan mayat bayi itu
dengan khidmat, sambil menembangkan keperihan…. terkadang ia seperti
menimang-nimang….
SIWI : (Menembang)
Di bening matamu kuberkaca
mencari makna duka lara
Di tangismu kudengar nyanyian
adakah itu nyanyian Tuhan….
Di bening matamu kuberkaca
mencari makna duka lara
Di tangismu kudengar nyanyian
adakah itu nyanyian Tuhan….
Tidurlah tidur anak kehidupan
Tidurlah tidur dalam kedamaian….
Tidurlah tidur dalam kedamaian….
Sambil terus menembang, Siwi mengubur dan
menancapkan bedera-bendera putih itu. Ia tak pernah menyadari, betapa puluhan
mata menatapnya dari balik belukar. Sampai kemudian SIWI terkejut, ketika
puluhan orang bertopeng telah mengepungnya. SIWI merayap mundur. Orang-orang
bertopeng terus mengepung…. Ketika SIWI menyadari bahwa ia tak punya kesempatan
untuk meloloskan diri, ia lalu mencoa memberanikan diri untuk menghadapi
puluhan orang bertopeng itu. Keberaniannya bangkit, seperti keberanian orang
yang sudah tak punya pilihan. Maka SIWI mencoba berdiri tegar, meski tetap saja
gemetar. Ia berusaha berkata tegas meski tetap saja cemas. Di puncak
kegeramannya ia mengaum:
SIWI :
Barangkali otakku terlalu beku untuk bisa mengurai silang sengkarut persoalan yang membuat begitu banyak orang takut. Atau barangkali aku terlalu gegabah untuk menjamah masalah yang mendadak tumpah ruah. Atau barangkali, aku terlalu nekad, terlalu berani untuk memasuki rimba persoalan yang nggegirisi ini…
Barangkali otakku terlalu beku untuk bisa mengurai silang sengkarut persoalan yang membuat begitu banyak orang takut. Atau barangkali aku terlalu gegabah untuk menjamah masalah yang mendadak tumpah ruah. Atau barangkali, aku terlalu nekad, terlalu berani untuk memasuki rimba persoalan yang nggegirisi ini…
Kalau akhirnya kuputuskan
untuk bersaksi, bukan karena aku ingin jadi pahlawan. Bukan. Sebab kepahlawanan
itu rapuh. Dan kepahlawanan itu dari hari ke hari semakin merosot harganya. Aku
bersaksi karena aku sekadar ingin menebus rasa bersalah, dan rasa berdosa saya
terhadap mayat-mayat sahabat saya. Sebab selama ini aku lebih banyak diam,
lebih banyak bungkam…. Ternyata tidak selama diam itu emas.
Kenapa tragedi
kemanusiaan yang jelas dan gamblang, selalu dibuat ngambang ?
Kenapa orang yang sudah jelas bersalah, justru dilindungi dan diberi ampunan ?
Kenapa orang-orang yang jelas menjadi korban justru dinistakan dan diberi hukuman ?
Aku jadi curiga, ada begitu banyak kepentingan sedang dipertahankan.
Aku jadi curiga, ada begitu banyak nama yang hendak diselamatkan demi kehormatan yang dipaksakan. Kehormatan yang dipahatkan dan dijulangkan di antara nisan-nisan tak bernama.
Kenapa orang yang sudah jelas bersalah, justru dilindungi dan diberi ampunan ?
Kenapa orang-orang yang jelas menjadi korban justru dinistakan dan diberi hukuman ?
Aku jadi curiga, ada begitu banyak kepentingan sedang dipertahankan.
Aku jadi curiga, ada begitu banyak nama yang hendak diselamatkan demi kehormatan yang dipaksakan. Kehormatan yang dipahatkan dan dijulangkan di antara nisan-nisan tak bernama.
Aku jadi curiga, ada
begitu banyak fakta sedang ditenggelamkan.
Aku jadi curiga banyak kisah nestapa, hanya dijadikan cerita yang asyik untuk dopidatokan.
Aku jadi curiga terhadap segala kecurigaan yang dibudidayakan untuk menciptakan ketakutan.
Aku jadi curiga terhadap semua sandiwara yang dimainkan.
Aku jadi curiga, bahwa kecurigaanku pun selalu dicurigai
Aku jadi curiga….
Aku curiga…..
Aku curiga…..
Aku curiga…..
Aku curiga…..
Aku jadi curiga banyak kisah nestapa, hanya dijadikan cerita yang asyik untuk dopidatokan.
Aku jadi curiga terhadap segala kecurigaan yang dibudidayakan untuk menciptakan ketakutan.
Aku jadi curiga terhadap semua sandiwara yang dimainkan.
Aku jadi curiga, bahwa kecurigaanku pun selalu dicurigai
Aku jadi curiga….
Aku curiga…..
Aku curiga…..
Aku curiga…..
Aku curiga…..
Mendadak ada
jaring-jaring besar turun yang memerangkap SIWI. SIWI berjuang keras untuk
lolos dari jaring itu. Ia berteriak-teriak marah dan terus bergulat mencoba
meloloskan diri dari belitan jaring raksasa itu. Tapi jaring itu ternyata lebih
kuat.. Jaring itu terus membungkus, meringkus. Siwi terus saja mengerjat
meronta-ronta mencoba membebaskan diri. Teriakannya kian lama kian melemah.
tenaganya terkuras, lantas perlahan lemas. Lampu perlahan meredup.Kemudian
terdengar sayup suara jeruji dipukuli, seperti bagian awal. Dentang itu
perlahan mengeras, dan mengeras. Sampai panggung menggelap. Dan yang tersisa
hanya cahaya yang bagai lembing perak menimpa kisi-kisi jeruji. Sementara
dentang jeruji dipukuli masih sesekali terdengar….
.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar