Relasi Makna
Dalam setiap
bahasa termasuk bahasa indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan
kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainya
lagi. Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna
(sinonimi), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan
ambiguitas), kelainan makana(Homonimi) kelebihan makna (redundansi), dan
sebagainya.
Sinonimi
Secara etimologi kata sinonimi
berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu onoma yang berarti nama dan syn yang
berarti dengan. Secara harfiah kata sinonimi berarti nama lain untuk benda atau
hal uang sama. Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan
yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Menurut Amran Tasai
(2000) sinonimi adalah dua kata atau lebih yang pada asasnya mempunyai makna
yang sama, tetapi bentuknya berlainan. Kesinoniman kata tidaklah mutlak, hanya
ada kesamaan atau kemiripan.
Dalam hal ini dapat kita ambil
beberapa contoh dari sinonimi tersebut. Dalam buku Keraf (1979) menjelaskan
beberapa contoh daipada kesinonuman kata tidaklah mutlak harus sama, namun
hanya ada kemiripan atau kesamaan. Contoh : bentuk buku dan kitab yang
mempunyai makna yang sama. Pengertian sama di sini tidak berlaku mutlak, sebab
dalam pemakaian sehari-hari tidak ada kata yang sama bertul artinya. Kalau kita
ambil contoh di atas, maka seandainya kitab dan buku benar-benar sinonim, dalam
arti sama betul artinya, maka di mana-mana keduanya harus selalu dapat bertukar
tempat. Tetapi kenyataanya dalam pemakaian sehari-hari ada juga
diferensiasinya. Tatabuku tidak dapat
digantikan dengan tatakitab. Jadi
dalam penggunaan sehari-hari sudah ada diferensiasi, tidak ada kataa yang
benar-benar sinonim alam pengertian kata yang mutlak.
Hal lain disampaikan dalam pendapat
Aminuddin (1985:115) yang mengatakan:
Penentuan ada tidaknya sinonim
mutlak itu seharusnya dikembalikan pada pertanyaan, kemiripan maupun kesamaan
dengan ragam makna yang mana. Apabila dihubungkan dengan makna referensial serta makna akstensial, menurut hemat kami sinonim mutlak itu
memang ada. Kata wafat, misalnya,
sebagai kata yang telah menjadi kosakata dalam bahasa indonesia,memliki sinonim
mutlak dengan meninggal maupun mangkat. Begitu juga dengan kalimat adityia pergi ke jakarta, ke jakarta aditya pergi,
maupun pergi ke jakarta aditya. Meskipun
ketiga kalimat itu memiliki struktur yang berbeda, makna ataupun informasi
faktual yang diberikanya tetap sama.
Masalahnya memang menjadi lain bila
penentuan makna itu dikaitan dengan adanya Makna Intensional maupun Makna
Kontekstual. Dalam bahasa jaawa dialek malang, misalnya terdapat kata koen ‘kamu’ yang secara referensial
memeiliki makna persis sama. Disebut demikian karena koen dan koe dapat
diacukan pada referen atau sasaran sasapan yang memiliki kondisi ikutan. 1)
pemeran memiliki tingkat generasidan usia relatif sama, 2) sudah akrab atau,
paling tidak, identitas masing-masing pemeran relatif sudah saling diketahui,
3) serta dalam hubungan informal yang bersifat interpersonal. Akan tetapi,
dalam kaitanya dengan intensi para pemakaianya, kedua kata itu ternyata
memiliki nuansa yang berbeda. Penutur yang lagi jengkel atau marah. Hal itu
sebenranya juga sesuai dengan nuansa intensionalitas yang diberikan kata mati, meninggal, dan wafat. Gelandangan tak bernama, andai
detak jantungnya berhenti berdetak selamanya, cukup disebut mati sementara mereka yang memiliki
kelas sosial menegah ke atas, dinyatakan meninggal.
Dalam kebahasaan masyarakat akan
timbul beberapa pertanyaan, mengapa muncul sinonimi. Pertanyaan tersebut akan
terjawab dengan kita lihat pernyataan yang diungkapkan oleh Parera (2004:65),
a) Sinonimi muncul antara kata Asli dan kata Serapan
b) Sinonimi muncul karena antar Bahasa Umum dan Dialek
c) Sinonimi muncul
untuk membedakan kata Umum dan Kata Ilmiah
d) Sinonimi muncul karena antara bahasa kekanak-kanakan dan bahasa orang
dewasa.
e) Sinonimi muncul untuk kerahasiaan.
f) Sinonimi muncul karena kolokasi
Sinonim ini digunakan untuk
mengalih-alihkan pemakaian kata pada tempat tertentu sehingga kalimat itu tidak
membosankan. Dalam pemakaianya bentuk-bentuk kata yang bersinonim akan
menghidupkan bahasa seseorang dan mengkokretkan bahasa seseorang sehingga
kejelasan komunikasi akan terwujud. Hubungan makna antara dua buah kata yang
bersinonim bersifat dua arah. Jadi, kalau kata bunga bersinonim dengan kata
kembang, maka kembang juga bersinonim dengan kata bunga.
Pada definisi di atas ada dikatakan
“maknanya kurang lebih sama”. Ini berarti, dua buah kata yang bersinonim itu
kesamaanya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja. Kesamaanya tidak
bersifat mutlak (Zgusta 1971:89), Ulman 1972:141).
Dalam pembentukan kata yang
bersinonim dapat diterapkan dalam beberapa bentuk, baik itu yang berupa kalimat,
frase, antar kata, dan antar fonem.
Rasjid Sartuni,dkk menjelaskan dalam
bukunya (1987:40), Mengatakan,
a)
Sinonim
antar kalimat, misalnya: Ahmad melihat Ali dan Ali melihat Ahmad
b)
Sinonim
antar frsae, misalnya: Rumah bagus itu dan rumah yang bagus itu.
c)
Sinonim
antar kata, Misalnya: Nasib dan takdir; memuaskan dan menyenangkan.
d) Sinonim antar morfem (terikat dan bebas) misalnya: buku-bukunya dan buku
mereka.
Penjelasan
tersebut sudah cukup memberikan wawasan kita dalam mendalami beberapa bentuk
sinonim. Namun dalam pemilihan kata-kata (sinonim) menurut Chaedar Alwasilah
(1983:149), Ada beberapa faktor yang mempengaruhi, di antaranya adalah siapa
penutur, siapa penanggap tutur, kapan, di mana, mengapa turut itu terjadi.
A : Ban
B
: Roda antara ban
dan roda
C : ikat pinggang
AB
: bagian makna yang sama.
AC
: bagian makna yang sama antara ban dan ikat pinggang.
Kalau
dua buah kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang persisi dama maka
timbul pertanyaan: yang sama apanya? Menurut teori Venhaar yang sama tentu
adalah informasinya; padahal informasi ini bukan makna karena informasi
bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat intralingual. Atau kalau kita
mengikuti teori analisis komponen yang sama adalah bagian atau unsur tertentu
saja dari makna itu yang sama. Misalnya kata mati dan meninggal. Kata matri
memiliki komponen makna: 1) tiada bernyawa 2) dapat dikenakan terhadap apa
saja. Sedangkan meninggal memiliki komponen makna 1) tidak bernyawa 2) hanya
dikenakan pada manusia.
Kesinoniman mutlak atau kesinoniman
simetris memang tidak ada dalam perbendaharaan kata bahasa indonesia.
Ketidakmungkinan kita untuk menukar
sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim adalah banyak sebabnya. Antara
lain:
1. Faktor waktu
2. Fektor
tempat atau daerah
3. Faktor
sosial
4. Faktor
bidang kegiatan
5. Faktor
nuansa makna.
Di dalam beberapa buku pelajaran bahasa indonesia sering dikatakan bahwa
sinonim adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini
jelas kuranh tepat sebab selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonimpun
bukan hanya kata dengan kata tetapi juga banyak terjadi antara satuan-satuan
bahasa lainya.
Contoh:
a)
Sinonim antara morfem (bebas) dengan morfem
terikat, seperti antara dia dengan nya, antara saya dengan ku dalam kalimat.
1. Minta
bantuan dia
2. Minta
bantuannya
b)
Sinonim antara kata dengan kata seperti antar
mati dengan meninggal, antar buruk dengan jelek, antar bunga dengan kembang.
c)
Sinonim antar kata dengan frase atau sebaliknya.
Misalnya antara meninggal denga tutup usia, antar hamil dengan duduk perut.
d) Sinonim antara frase dengan frase. Misalnya antar ayah ibu dengan kedua
orang tua.
e)
Sinonim antara kalimat dengan kalimat. Seperti
adik menendang bola dengan bola ditendang adik.
Akhirnya mengenai sononim ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tidak semua kata dalam
bahasa indonesia mempunyai sinonim. Misalnya kata beras, salju, batu, dan
kuning tidak memiliki sinonim. Kedua, ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk
dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Misalnya kata benar dengan kata betul, tatpi
kata kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan. Ketiga, ada kata-kata
yang tidak mempunyai sinonim tetapi mempunyai sinonim pada bentuk jadian.
Misalnya kata jemur tidak mempunyai sinonim, tapi kata berjemur mempunyai
sinonim dengan kata berpanas.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1988. Semantik Pengantar
Studi Tentang Makna. Bandung: C.V. Sinar Baru.
Arifin, Zaenal dan S. Amran Tasai. 2000. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo.
Chaer, Abdul. 1993. Gramatika Bahasa
Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar
Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum.
Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen
Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Faizah, Hasnah. 2010. Linguistik
Umum. Pekanbaru: Cendikia Insani.
Kridalaksana,
Harimurti. 2007. Kamus Linguistik. Jakarta. Cendikia
Pustaka
Keraf, Gorys. 1969. Tata Baku Bahasa Indonesia untuk Sekolah
Lanjutan Atas. Jakarta: Nusa Indah.
Padeta, Mansoer. 2001. Semantik
Leksikal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Parera,J.D. 2004. Teori Semantik. Jakarta:
Erlangga.
Sartuni, Rasjid dkk. 1987. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi.
Jakarta: Nina Dinamika.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran
Semantik. Bandung: Angkasa.
Varhaar. 1992. Pengantar Linguistik.Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Keraf, Gorys. 1969. Tata Baku Bahasa Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar