Jumat, 26 April 2013

Sinonimi dalam relasi Makna



Relasi Makna
Dalam setiap bahasa termasuk bahasa indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainya lagi. Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), kelainan makana(Homonimi) kelebihan makna (redundansi), dan sebagainya.
Sinonimi
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu onoma yang berarti nama dan syn yang berarti dengan. Secara harfiah kata sinonimi berarti nama lain untuk benda atau hal uang sama. Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Menurut Amran Tasai (2000) sinonimi adalah dua kata atau lebih yang pada asasnya mempunyai makna yang sama, tetapi bentuknya berlainan. Kesinoniman kata tidaklah mutlak, hanya ada kesamaan atau kemiripan.
Dalam hal ini dapat kita ambil beberapa contoh dari sinonimi tersebut. Dalam buku Keraf (1979) menjelaskan beberapa contoh daipada kesinonuman kata tidaklah mutlak harus sama, namun hanya ada kemiripan atau kesamaan. Contoh : bentuk buku dan kitab yang mempunyai makna yang sama. Pengertian sama di sini tidak berlaku mutlak, sebab dalam pemakaian sehari-hari tidak ada kata yang sama bertul artinya. Kalau kita ambil contoh di atas, maka seandainya kitab dan buku benar-benar sinonim, dalam arti sama betul artinya, maka di mana-mana keduanya harus selalu dapat bertukar tempat. Tetapi kenyataanya dalam pemakaian sehari-hari ada juga diferensiasinya. Tatabuku tidak dapat digantikan dengan tatakitab. Jadi dalam penggunaan sehari-hari sudah ada diferensiasi, tidak ada kataa yang benar-benar sinonim alam pengertian kata yang mutlak.
Hal lain disampaikan dalam pendapat Aminuddin (1985:115) yang mengatakan:
Penentuan ada tidaknya sinonim mutlak itu seharusnya dikembalikan pada pertanyaan, kemiripan maupun kesamaan dengan ragam makna yang mana. Apabila dihubungkan dengan makna referensial serta makna akstensial, menurut hemat kami sinonim mutlak itu memang ada. Kata wafat, misalnya, sebagai kata yang telah menjadi kosakata dalam bahasa indonesia,memliki sinonim mutlak dengan meninggal maupun mangkat. Begitu juga dengan kalimat adityia pergi ke jakarta, ke jakarta aditya pergi, maupun pergi ke jakarta aditya. Meskipun ketiga kalimat itu memiliki struktur yang berbeda, makna ataupun informasi faktual yang diberikanya tetap sama.
Masalahnya memang menjadi lain bila penentuan makna itu dikaitan dengan adanya Makna Intensional maupun Makna Kontekstual. Dalam bahasa jaawa dialek malang, misalnya terdapat kata koen ‘kamu’ yang secara referensial memeiliki makna persis sama. Disebut demikian karena koen dan koe dapat diacukan pada referen atau sasaran sasapan yang memiliki kondisi ikutan. 1) pemeran memiliki tingkat generasidan usia relatif sama, 2) sudah akrab atau, paling tidak, identitas masing-masing pemeran relatif sudah saling diketahui, 3) serta dalam hubungan informal yang bersifat interpersonal. Akan tetapi, dalam kaitanya dengan intensi para pemakaianya, kedua kata itu ternyata memiliki nuansa yang berbeda. Penutur yang lagi jengkel atau marah. Hal itu sebenranya juga sesuai dengan nuansa intensionalitas yang diberikan kata mati, meninggal, dan wafat. Gelandangan tak bernama, andai detak jantungnya berhenti berdetak selamanya, cukup disebut mati sementara mereka yang memiliki kelas sosial menegah ke atas, dinyatakan meninggal.
Dalam kebahasaan masyarakat akan timbul beberapa pertanyaan, mengapa muncul sinonimi. Pertanyaan tersebut akan terjawab dengan kita lihat pernyataan yang diungkapkan oleh Parera (2004:65),
a)      Sinonimi muncul antara kata Asli dan kata Serapan
b)      Sinonimi muncul karena antar Bahasa Umum dan Dialek
c)      Sinonimi  muncul untuk membedakan kata Umum dan Kata Ilmiah
d)     Sinonimi muncul karena antara bahasa kekanak-kanakan dan bahasa orang dewasa.
e)      Sinonimi muncul untuk kerahasiaan.
f)       Sinonimi muncul karena kolokasi
Sinonim ini digunakan untuk mengalih-alihkan pemakaian kata pada tempat tertentu sehingga kalimat itu tidak membosankan. Dalam pemakaianya bentuk-bentuk kata yang bersinonim akan menghidupkan bahasa seseorang dan mengkokretkan bahasa seseorang sehingga kejelasan komunikasi akan terwujud. Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Jadi, kalau kata bunga bersinonim dengan kata kembang, maka kembang juga bersinonim dengan kata bunga. 
Pada definisi di atas ada dikatakan “maknanya kurang lebih sama”. Ini berarti, dua buah kata yang bersinonim itu kesamaanya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja. Kesamaanya tidak bersifat mutlak (Zgusta 1971:89), Ulman 1972:141).
Dalam pembentukan kata yang bersinonim dapat diterapkan dalam beberapa bentuk, baik itu yang berupa kalimat, frase, antar kata, dan antar fonem.
Rasjid Sartuni,dkk menjelaskan dalam bukunya (1987:40), Mengatakan,
a)      Sinonim antar kalimat, misalnya: Ahmad melihat Ali dan Ali melihat Ahmad
b)      Sinonim antar frsae, misalnya: Rumah bagus itu dan rumah yang bagus itu.
c)      Sinonim antar kata, Misalnya: Nasib dan takdir; memuaskan dan menyenangkan.
d)     Sinonim antar morfem (terikat dan bebas) misalnya: buku-bukunya dan buku mereka.
Penjelasan tersebut sudah cukup memberikan wawasan kita dalam mendalami beberapa bentuk sinonim. Namun dalam pemilihan kata-kata (sinonim) menurut Chaedar Alwasilah (1983:149), Ada beberapa faktor yang mempengaruhi, di antaranya adalah siapa penutur, siapa penanggap tutur, kapan, di mana, mengapa turut itu terjadi.
                    A : Ban
                    B                          : Roda antara ban dan  roda
                    C  : ikat pinggang
                    AB            : bagian makna yang sama.
                    AC            : bagian makna yang sama antara ban dan ikat pinggang.
            Kalau dua buah kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang persisi dama maka timbul pertanyaan: yang sama apanya? Menurut teori Venhaar yang sama tentu adalah informasinya; padahal informasi ini bukan makna karena informasi bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat intralingual. Atau kalau kita mengikuti teori analisis komponen yang sama adalah bagian atau unsur tertentu saja dari makna itu yang sama. Misalnya kata mati dan meninggal. Kata matri memiliki komponen makna: 1) tiada bernyawa 2) dapat dikenakan terhadap apa saja. Sedangkan meninggal memiliki komponen makna 1) tidak bernyawa 2) hanya dikenakan pada manusia.
Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris memang tidak ada dalam perbendaharaan kata bahasa indonesia.
Ketidakmungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim adalah banyak sebabnya. Antara lain:
1.      Faktor waktu
2.      Fektor tempat atau daerah
3.      Faktor sosial
4.      Faktor bidang kegiatan
5.      Faktor nuansa makna.
Di dalam beberapa buku pelajaran bahasa indonesia sering dikatakan bahwa sinonim adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas kuranh tepat sebab selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonimpun bukan hanya kata dengan kata tetapi juga banyak terjadi antara satuan-satuan bahasa lainya.
Contoh:
a)      Sinonim antara morfem (bebas) dengan morfem terikat, seperti antara dia dengan nya, antara saya dengan ku dalam kalimat.
1.      Minta bantuan dia
2.      Minta bantuannya
b)      Sinonim antara kata dengan kata seperti antar mati dengan meninggal, antar buruk dengan jelek, antar bunga dengan kembang.
c)      Sinonim antar kata dengan frase atau sebaliknya. Misalnya antara meninggal denga tutup usia, antar hamil dengan duduk perut.
d)     Sinonim antara frase dengan frase. Misalnya antar ayah ibu dengan kedua orang tua.
e)      Sinonim antara kalimat dengan kalimat. Seperti adik menendang bola dengan bola ditendang adik.

Akhirnya mengenai  sononim ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tidak semua kata dalam bahasa indonesia mempunyai sinonim. Misalnya kata beras, salju, batu, dan kuning tidak memiliki sinonim. Kedua, ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Misalnya kata benar dengan kata betul, tatpi kata kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan. Ketiga, ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim tetapi mempunyai sinonim pada bentuk jadian. Misalnya kata jemur tidak mempunyai sinonim, tapi kata berjemur mempunyai sinonim dengan kata berpanas.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1988. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: C.V. Sinar Baru.
Arifin, Zaenal dan S. Amran Tasai. 2000. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo.
Chaer, Abdul. 1993. Gramatika Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Faizah, Hasnah. 2010. Linguistik Umum. Pekanbaru: Cendikia Insani.
Kridalaksana, Harimurti. 2007.  Kamus Linguistik. Jakarta. Cendikia Pustaka
Keraf, Gorys. 1969. Tata Baku Bahasa Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Atas. Jakarta: Nusa Indah.
Padeta, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Parera,J.D. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.
Sartuni, Rasjid dkk. 1987. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Nina Dinamika.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.
Varhaar. 1992. Pengantar Linguistik.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Keraf, Gorys. 1969. Tata Baku Bahasa Indonesia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar